Cerita Code

creativenet Jogoyudan 0 Comments

Di masa lalu, Sungai Code nampaknya sangat molek. Sastrawan Mustofa W.Hasyim dalam novelnya ”Kali Code, Pesan-Pesan Api” menuliskannya dengan sangat indah. ….” Sungai Code yang membelah kota. Kalau siang hari langit mendung dan gerimis turun, nampak sungai Code seperti perawan yang tidur lelap dengan rambutnya yang panjang mengurai, sebagian menutup punggung dan pinggulnya yang besar. Demikian juga ketika malam hari gerimis turun, lampu-lampu di sepanjang kiri kanan sungai tampak redup tetapi masih mampu menimbulkan bayang-bayang yang bergerak di permukaan air. Itu wajah lembut sungai Code. Tetapi kalau sungai ini marah, air bah dari lereng Merapi menerjang-nerjang semua penghalang. Perawan berambut panjang itu menggeliat lalu menggulung dan menghanyutkan apa saja di kiri-kanan sungai….Aku mencintai Code, sebab itulah kehidupanku”.

Secara geografis, Kota Jogjakarta yang berpusat pada Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat terletak di antara dua sungai yang mengalir dari utara ke selatan, yaitu sungai Winongo di barat, sungai Gajah Wong di sebelah timurnya. Di antara kedua sungai, mengalirlah sungai Code sepanjang 60 km meliuk-liuk melintas di tengah kota. Hulunya adalah lereng gunung Merapi di utara, mengalir ke hilir dan berakhir di laut selatan. Di masa lalu, Sungai Code telah menjadi penyegar bagi kota yang berhawa panas ini. Konon warga kota bisa duduk di pinggir kali untuk melepas penat, mencari angin di bawah rumpun pohon bambu sembari mendinginkan kakinya di air. Namun seperti kota-kota lain di Indonesia, maka kota Jogjakarta tak dapat menahan laju urbanisasi penduduk dari desa ke kota. Tanpa modal, keterampilan, apalagi pendidikan yang cukup tinggi, maka mereka inilah yang menjadi pemukim pertama bantaran sungai Code. Letak sungai di jantung kota sangat memudahkan akses kaum pendatang untuk mencari peruntungan di sektor informal seperti buruh, penjual bakso, tukang tambal ban, penjual sate dari Madura, sampai pencopet, preman, semuanya hidup berdampingan mengais rejeki dari kota.

Berdasarkan peta kota yang dibuat oleh Pemerintah Kolonial Belanda, terlihat bahwa pada tahun 1790 sudah ada dua permukiman muncul di tepi barat sungai Code yang dekat dengan jalan-jalan utama Jogjakarta. Pada tahun 1824, permukiman yang ada di daerah hilir (selatan) mulai menjalar ke kawasan hulu (utara). Lalu laju urbanisasi dari desa ke kota semakin cepat saat pemerintah Jepang menerapkan sistem romusha (kerja paksa) bagi warga di pedesaan. Pada masa perang (1945-1950) pertumbuhan permukiman lebih cepat lagi. Di awal tahun 1970, kaum urban mulai merambah kuburan cina (ngebong) yang terletak di daerah hulu sungai.

Sungai Code tak bisa mengelak dari derasnya pergerakan manusia dari desa ke kota. Tak terkecuali Kampung Jogoyudan di Bantaran Kali Code. Pemukiman padat yang membuat warga tinggal di Wedi Kengser puluhan tahun silam, ternyata menuai persoalan hak untuk memiliki ruang hidup.

Kampung Jogoyudan
Warga Jogoyudan sedang resah. Hak Guna Bangunan (HGB) yang menjamin ruang hidup mereka kini sedang terancam dari UU keistimewaan Jogjakarta. “Sebenarnya setelah 20 tahun, maka HGB bisa berubah menjadi status SHM atau sertifikat hak milik. Tapi perpanjangan itu ditunda sampai adanya Perda Istimewa yang mengatur soal tanah,” ungkap pak Yanto, warga RT 32 Jogoyudan.

jogoyudan5

Sadar akan ancaman ini, maka warga Kampung Jogoyudan RT 32 sepakat untuk memetakan kembali sejarah kampungnya. Pemetaan ini diharapkan dapat memperkuat daya tawar warga kelak dalam mempertahankan ruang hidupnya. Workshop Sejarah Kampung di Kampung Jogoyudan RT 32 diselenggarakan pada 19 Agustus 2016 di Pos Ronda RT 32 sekaligus tempat “Sekolah Rakyat Jogoyudan.” Hadir dalam workshop ini Bapak RT 32, Bapak RW 08, para tokoh masyarakat, dan juga para pegiat Paku Bangsa, serta ibu-ibu kampung Jogoyudan.

Ingatan akan masa lalu kampung menjadi sangat menarik untuk digali. Jogoyudan merupakan kampung tua di bantaran Kali Code. Konon kampung ini awalnya bernama Ledok Lamesan karena di sana banyak kriminal yang melarikan diri, dikejar polisi, dan ditangkap hingga lemas (lamesan). Lalu kemudian berganti nama menjadi Gondolayu, yaitu tempat pemindahan makam dari tempat lain, dan yang terakhir diberi nama Jogoyudan.

jogoyudan7

Di kawasan ini, dulu ternyata masih cukup banyak mata air yang disebut Belik di kawasan itu. Belik inilah yang menjadi sumber air minum, tempat mencuci, dan segala aktivitas warga yang membutuhkan air. Namun setelah dibangun talud, maka banyak mata air yang tertutup. “Dulu pemerintah bangun saja talud tanpa melibatkan kondisi ekologis yang ada di sungai,” ungkap ketua RT 32, Pak Kubro. Talud dibangun untuk menahan terjangan banjir pada pemukiman bantaran sungai. Sebelumnya tanah yang merupakan badan sungai ditumbuhi rumpun pohon bambu, disebut wedi kengser. Di atas tanah itu pula warga kadang menanam sayur-sayuran, membuat kolam-kolam ikan. Tetapi setelah ada talud, warga mulai membangun rumah-rumah di tanah wedi kengser. Mereka menguruk tanah secara swadaya dan mendirikan rumah-rumah baru.

Sejalan dengan makin padatnya penduduk, maka tanah wedi kengser menjadi pemukiman yang sangat dekat dengan sungai. Perkembangan kota yang semakin padat, pembangunan gedung seperti hotel dan perkantoran tak pelak mempengaruhi kualitas sumber air di sungai Code. Limbah hotel yang katanya sudah melalui proses pengolahan, tetap saja menyebabkan kekeruhan pada air sungai. “Limbah Hotel Santika itu masuk ke sungai dan menyebabkan ikan mati. meski katanya mereka sudah membuat IPAL,” ujar pak RW. Penyempitan tanah juga menyebabkan tempat bermain anak semakin terbatas. Bersyukur bahwa masih ada lapangan volley tersisa yang bisa digunakan sebagai kegiatan kampung yang agak besar. Di depan lapangan volley itu pula terdapat pos ronda sekaligus Sekolah Rakyat Jogoyudan yang sangat bermanfaat bagi pendidikan anak di kampung, Sekolah Rakyat Jogoyudan dibangun.

jogoyudan6

Kini warga Jogoyudan juga akan mengalami persoalan sampah. Tempat pembuangan sampah yang sudah ada ternyata tanahnya telah dibeli oleh “orang Jakarta.” Tidak terlalu jelas, rencana penggunaan tanah tersebut, tetapi yang mengkhawatirkan adalah warga akan kembali membuang sampah di sungai jika sulit memperoleh tempat pembuangan sampah akhir. Ini merupakan persoalan krusial, karena jika mereka kembali “membelakangi” sungai akan menjadi alasan empuk untuk melakukan penggusuran. Cerita Code adalah cerita perjuangan warga untuk bertahan dari bencana alam, dan bencana akibat ulah manusia. (Ade Tanesia)

Leave a Reply

Your email address will not be published.