Terletak di Kelurahan Kotabaru, kawasan paling elit di jantung Kota Yogyakarta, Ledok Code menjadi kampung yang terlupakan. Posisinya yang menjorok ke bawah bantara sungai pun nyaris tak terlihat dari jalan raya. Kampung Ledok Code RT 18 terdiri dari 43 Kepala Keluarga dengan mata pencahatian yang cukup bervariasi, dari mulai supir, pegawai bengkel, wiraswasta angkringan, hingga pemulung. Kaum remaja di RT 18 banyak yang masih dalam usia sekolah namun mereka tidak lagi melanjutkan pendidikan dan turut membantu perekonomian keluarga dengan bekerja sebagai buruh, tukang parkir, dan pekerjaan lainnya. Meski angka buta huruf di RT 18 termasuk rendah, namun tingkat pendidikannya masih rendah. Tidak ada satu pun yang berhasil menempuh pendidikan tinggi, sementara itu yang berhasil mendapat sertifikat lulus SMA bisa dihitung dengan jari. Meski dikategorikan sebagai kampung kumuh, namun jika masuk ke dalam kampungnya yang menukik ke arah bantaran kali, maka kita akan menemui pemukiman yang cukup bersih. Tentunya untuk bisa menjadi kampung yang bermartabat, warga Code telah mengalami perjalanan cukup panjang.
Bermula dari akhir tahun 1970-an, Yogyakarta makin diserbu oleh pendatang dari berbagai daerah. Â Selain mahasiswa, ada pula yang mempertarungkan nasibnya di sektor informal. Mereka tinggal di bawah jembatan kewek, beratapkan beton untuk melindunginya dari hujan. Lalu sekitar tahun 1980an, Gereja Gondokusuman berinisiatif untuk memindahkan warga di bawah jembatan Kewek ke sebuah tanah di Ledok Code yang berada di bawah Dinas Pengairan. Â Saat itu tanah tersebut digarap menjadi kebun oleh seseorang bernama Pak Tedjo. Keluarga yang kebanyakan berasal dari Imogiri itu lalu menempati tanah baru dan diberikan bantuan 35 rumah berupa gedek . Lalu yang berada persis di pinggir kali dibangun rumah panggung dari bambu. Ada istilah Gedek di Plengkuke, yaitu gedek yang ditekuk menjadi seperti tenda dan bagian atasnya dilapisi plastik agar tidak masuk hujan. Itulah gambaran perumahan awal dari Ledok Code.
Sebelum menjadi pemukiman, maka daerah RT 18 Ledok Code ini merupakan daerah yang berbahaya, tempat berkumpulnya para preman dan juga wanita pekerja seks. âJadi kalau kita lewat di atas, nanti yang perempuan akan mencegat motor. Ketika pengendara motor turun, lalu para pria akan mengambil segala harta benda berharga dari pengendara,â ujar Pak Sugeng, Ketua RT 18. Tidak heran jika banyak orang yang waspada atau bahkan menghindar dari jalan tersebut. Namun dengan dibukanya daerah kebun pinggir kali itu menjadi pemukiman, kawasan ini lebih aman.
Para penduduk baru itu pun mulai menata kawasannya. Mereka mulai merayakan Hari Kemerdekaan dengan harapan keberadaannya bisa diakui oleh negara. Upaya ini rupanya menggerakkan hati seorang Camat Gondokusuman sehingga pada tahun 1980-an, warga bisa memperoleh KTP dan Kartu Keluarga. Namun  hingga kini tak satupun yang memiliki sertifikat HGB dan SHM, meski mereka tetap harus membayar pajak.
Dalam perkembangannya, kawasan Ledok Code pun memperoleh sentuhan pembangunan. Pemerintah membangun talut untuk menahan banjir di sungai. Dengan berdirinya talut, warga lalu mengganti rumah panggung dan gedek menjadi rumah permanen. Sayangnya pembangunan talut telah menutup beberapa sumber mata air (belik) yang ada di kampung. Kini meski masih ada belik, namun warga lebih mengandalkan air dari sumur. Di tempat itulah, selain memenuhi kebutuhan akan air, warga bisa saling berinteraksi. Sumur menjadi ruang sosial yang cukup penting bagi warga Ledok Code. Â Apalagi tak semua rumah di RT 18 memiliki fasilitas MCK, sehingga sebagian dari warga harus menggunakan KM umum yang berjumlah 4 buah.
Perkembangan populasi membuat Kampung Ledok Code semakin padat. Gang-gang yang dulu bisa dijadikan jalan untuk evakuasi karena banjir kini makin tertutup oleh rumah atau penambahan ruang dari beberapa rumah. Tempat bermain anak kecil pun semakin sempit sehingga beberapa permainan ada yang hilang. Seperti bermain kelereng yang membutuhkan tanah kini semakin jarang karena sudah diganti dengan konblok. Kemudian juga semakin sulit kita temui keceriaan anak-anak yang bermain di sungai untuk mencari ikan. Hal ini disebabkan ikan pun makin punah karena pencemaran dan penyempitan sungai. Bermain layangan pun hanya mungkin dilakukan di atas rumah. Anak perempuan yang biasa bermain lompatan karet kini makin sulit ditemui. âSekarang lebih baik bermain game di gadget masing-masing,â ungkap Ari, pemuda Ledok Code. Keguyuban antarwarga yang semula sangat erat karena kebersamaan membangun kampungnya semakin renggang. Kesibukan mencari nafkah merupakan salah satu faktor yang mengkondisikan setiap orang lebih memikirkan diri dan keluarganya. Namun ada beberapa acara seperti syawalan, natalan, yang masih terpelihara hingga kini.
Hampir seluruh fasilitas yang ada di RT 18 merupakan hasil swadaya masyarakat. Balai RT dibangun bersama, juga jembatan yang menghubungkan Jogoyudan dan Ledok Code dibangun bersama oleh kedua kampung. Sayangnya, jembatan itu kini sudah tidak ada akibat diterjang banjir lahar tahun 2010. Konon jembatan tersebut dapat mempermudah warga RT 18 untuk lebih cepat ke daerah Kranggan. âOleh karena status tanah bukan milik kami, maka kami tidak memperoleh bantuan pemerintah. Tetapi kelurahan tetap memiliki hubungan baik dengan warga,â ungkap Pak Sugeng. Namun pernah ada bantuan keran PDAM dari Partai Golkar yang akhirnya ditutup oleh warga karena jarang digunakan. âKami dulu dapat bantuan keran, tetapi karena jarang dipakai akhirnya kami cabut saja agar tidak perlu membayar rutin,â lanjut Pak Sugeng.
Demikian Kampung Ledok Code RT 18 masih terus memiliki harapan menata dirinya. Mereka bercita-cita agar daerahnya bisa menjadi tujuan wisata pinggir sungai sehingga mampu memacu denyut ekonomi warganya seperti menjual makanan, memasarkan produk yang dihasilkan dari keterampilan ibu-ibu, dan lain-lain. Kawasan ini juga mempercantik dirinya dengan pembuatan mural yang dilakukan oleh anak muda. Meski bermukim tanpa pegangan sertifikat apapun, warga Ledok Code masih berharap agar mereka bisa tetap menempati ruang hidupnya. *** Â (Ade Tanesia)