Sebuah pameran bertajuk Lumbung Kehidupan yang diadakan oleh CreativeNet telah selesai dilaksanakan. CreativeNet sendiri adalah gabungan dari dua organisasi masyarakat sipil, Center for Civic Engagement and Studies (CCESS) Yogyakarta dan Riset Indie Bandung, yang bergerak di bidang pemberdayaan masyarakat. Pameran ini menampilkan kegiatan kreatif dari delapan komunitas masyarakat dari Yogyakarta, Klaten, dan Bandung yang masing-masing daerah memiliki latar belakang masalah yang sama, semakin sempitnya ruang hidup.
Dalam kerangka yang lebih luas, ruang hidup adalah kota tempat manusia hidup. Perebutan kota terjadi ketika pembangunan kemudian tidak memperhatikan masyarakat di dalam kota itu sendiri. Kota seringkali diasosiasikan hanya dengan penanda-penanda fisik. Padahal, kota juga merupakan ‘state of mind’ (Park, 1967). Artinya, kota tak hanya merupakan sebuah kenampakan empiris. Kota juga hadir di dalam benak manusia dan tercerminkan dalam perilaku manusia yang menghuninya. Dalam hal ini, kota dibentuk oleh manusia didalamnya sekaligus membentuk manusia yang ada didalamnya. Terdapat dimensi abstrak dari ruang kota yang mencerminkan dimensi spasial dari kota tersebut. Selain itu, menurut Henri Lefebvre kota adalah tempat berlangsungnya kehidupan sehari-hari manusia, dan kehidupan sehari-hari ini adalah tempat utama untuk perubahan sosial yang berarti bagi manusia—satu-satunya arena—tempat merealisasikan segala kemungkinan (Merrifield, 2006). Dengan kata lain, kota, dalam kondisi idealnya mampu memberikan peluang bagi setiap orang untuk mengembangkan diri mereka. Namun, permasalahannya saat ini, masyarakat kota kehilangan kontrol atas kotanya. Pembangunan kota dikuasai dan diarahkan untuk kepentingan mereka yang sebenarnya bukan penghuni kota itu. Kondisi ini tidak hanya menghancurkan ruang dalam konteks fisik semata, tetapi juga pemaknaan atas kota mereka sekaligus peluang bagi setiap orang untuk mengembangkan dirinya melalui kota.
Realitas tersebut memicu adanya perebutan ruang-ruang kota, gerakan ‘Yogya Ora Didol” atau “Bali Tolak Reklamasi” adalah contoh perebutan ruang antara masyarakat kota dan penguasa yang mengendalikan kota. Narasi dari dua gerakan ini hampir serupa, perebutan ruang kota harus dimulai dengan membangun kesadaran masyarakat tentang kota, kemudian dilanjutkan mengorganisasi massa dalam lingkup yang lebih luas. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan kekuatan politik dari gerakan perlawanan ini. Narasi semacam ini adalah narasi yang sering muncul dalam gerakan masyarakat. Disini, pameran Lumbung Kehidupan dan kegiatan pemberdayaan yang dilakukan oleh CreativeNet memberikan sebuah alternatif baru dalam gerakan masyarakat. Alternatif ini terletak pada kerja kreatif yang dilakukan oleh berbagai komunitas dalam merespon isu perebutan hak atas ruang kota. Sebagai contoh, komunitas Kyai Suluh di Klaten yang menggunakan teater dan kegiatan berkesenian untuk menunjukkan semakin menyempitnya lahan pertanian di desa mereka, atau komunitas pemuda di Prawirotaman, Yogyakarta, yang menggunakan fotografi untuk menunjukkan semakin terdesaknya ruang mereka akibat pembangunan hotel. Ada lagi komunitas cemara di Ledok Code yang membuat lampion dan Sanggar Anak Kampung Indonesia (SAKI) di Ledok Tukangan yang membuat gerobak pendidikan yang berisi buku dan arsip kampung, yang masing-masing berupaya menunjukkan kampung mereka yang bertahan akibat terpinggirkan oleh pembangunan.
Dalam hal ini, perebutan ruang yang dilakukan oleh komunitas-komunitas tersebut tidak diletakkan dalam antagonisme, antara negara dan masyarakat, antara penguasa dan orang tak berpunya. Komunitas tersebut, alih-alih menentang secara terbuka dari pembangunan yang menghancurkan, mereka memanfaatkan kerja kreatif sebagai respon atas hilangnya ruang kota mereka. Kerja kreatif dalam komunitas disini berfungsi dalam tiga hal. Pertama kerja kreatif disini dapat dilihat sebagai usaha komunitas untuk membangun kembali makna dari ruang hidup mereka komunitas tersebut untuk menguasai kembali ruang hidup mereka, walaupun tidak dari aspek material, tetapi emosional. Kedua, kerja kreatif membuat seseorang mampu untuk mengembangkan dirinya. Dalam hal ini, kerja kreatif memberikan peluang bagi setiap orang untuk memunculkan potensi dalam dirinya yang mungkin tidak disediakan oleh ruang kota. Ketiga kerja kreatif dalam komunitas memungkinkan terjadi interaksi antar individu yang sekaligus mampu mengembalikan ikatan sosial yang mungkin hilang atau rusak akibat pembangunan. Dititik ini dapat disimpulkan apa yang dilakukan oleh komunitas ini adalah membangun kembali, meminjam istilah Peter L. Berger, “structure of knowledge” dari ruang hidup mereka (Berger, 1967).
Kritik tentu saja dapat diajukan terhadap gerakan ini. Terutama terkait dampak dari kegiatan yang dilakukan komunitas terhadap perubahan yang diharapkan. Namun, ditengah kondisi dimana gerakan massa yang masih saja berada dalam aksi yang sifatnya seremonial belaka, kegiatan yang dilakukan oleh komunitas-komunitas ini tentu saja pantas untuk diperhatikan.
Oleh: Ahmad Rijensa Akbar
Referensi
Merrifield, A., Henri Lefebvre: a critical Introduction, New York: Routledge, 2006
Park, R., Social Control and Collective Behavior, Chicago: Chicago University Press, 1967
Berger, P. L., dan Luckmann, T., The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge, London: Penguin Books, 1967