Ledok Tukangan termasuk kampung pinggir Kali Code yang sudah lama ada. Salah satu peninggalan bangunan fisik yang membuktikan itu adalah rumah Joglo yang berusia lebih dari seratus tahun. Rumah Jogla itu dibangun oleh Mbah Kartodimejo yang  juga dikenal  dengan panggilan Mbah Banjir, seorang  pengusaha batik dan kemasan (kerajian emas) yang berasal dari Kulonprogo, rumah Joglo itu sendiri selain sebagai tempat tinggal dulunya juga difungsikan sebagai  tempat membatik dan kemasan.  Saat ini rumah Joglo yang luasnya sekitar 820m persegi itu dihuni keturunan yang keempat dan kelima. Keadaan rumah tersebut dapat dikatakan tidak mengalami banyak renovasi, selain dindingnya yang dahulu dari kayu kini berubah menjadi tembok di beberapa bagian.  Adapun genteng dan tiang serta kayu-kayu di bagian atas masih asli.
Kaum dewasa dan lansia umumnya masih bisa bercerita tentang sejarah Ledok Tukangan hingga tiga atau empat generasi di atas mereka. Mereka juga masih bisa menyebutkan nama-nama kepala kampung yang pernah berkuasa di sana, karena keturunan kepala kampung  atau tokoh-tokoh di masa lalu masih ada dan bermukim di Ledok Tukangan.  Mereka cenderung menganggap bahwa kehidupan di masa lalu lebih bernilai di banding sekarang. Ukuran penilaian itu adalah rasa kebersamaan warga dan penghormatan terhadap lingkungan sekitar, terutama sungai Code. Menurut mereka, jaman dahulu orang-orang saling mengenal, baik orang tua maupun anak-anak. Hal itu terjadi selain karena penduduk belum sebanyak sekarang, juga karena belum banyak pengaruh âindividualismeâ dari dunia modern. Demikian pula hubungan dengan alam, dahulu masih ada orang yang memberi sesaji  pada belik, misalnya dengan meletakkan tumpeng kecil pada hari-hari tertentu, misalnya Jumat kliwon dan malam satu sura.
Masih tentang hubungan dengan alam,  mereka juga masih ingat dengan jelas bagaimana banjir lahar yang terjadi pada tahun 1962. Dikisahkan bahwa orang jaman dahulu  percaya bahwa air pertama yang datang pada banjir bandang itu akan membuat awet muda apabila diusapkan di muka. Menurut mereka, air yang merupakan ândas-ndasane banjirâ itu sangat bening dan menyegarkan.  Paska banjir itu, ada suatu peristiwa yang menarik, yakni sebuah ritual menyusuri kali yang dilakukan oleh mbah Putih. Mbah Putih adalah orang tua yang berpakaian serba putih, dengan rambut dan jenggot juga putih. Dalam ritual itu, mbah Putih hanya berjalan menusuri sungai Code mulai dari Jembatan Sayidan (di selatan) menuju jembatan Gondolayu (di utara). Maksud ritual itu adalah memohon keselamatan agar bencana banjir tidak merugikan warga sekitar sungai. Saat mbah Putih melintas, sebagian orang yang kebetulan ada di sekitar sungai mengikuti  langkah  mbah Putih dari belakang, sehingga membetuk semacam barisan orang yang cukup panjang. Warga kampung sekitar sungai juga banyak yang menonton aksi itu dari pinggir, menyaksikan dengan harapan yang sama supaya terhindar dari bencana.
Meski menyadari sudah banyak perubahan, tapi umumnya warga masih meyakini kebersamaan dan gotong-royong tidak hilang begitu saja. âTidak semua nilai positif itu hilang, tetapi mungkin berubah sesuai jaman, anak muda masih banyak yang peduli dengan kampung, misalnya melalui acara kesenian dan olah ragaâ, kata bu Jilah (50 tahun).  âKebersamaanâ tempaknya memang masih menjadi  obsesi mereka.  Kaum muda menujukkan hal itu dengan aktif dalam berbagai  event di kampung, maupun sekedar kempul-kumpul di sanggar SAKI atau halaman Jimah. Bahkan berkelahi melawan pemuda kampung seberang pun seolah bisa ditolerir sejauh itu berangkat dari, atau dalam rangka, memperkuat solidaritas internal. âkalo anak muda, nakal itu biasa, yang penting mereka tahu kapan harus memulai kapan harus berhenti, dan yang paling penting guyup rukun dan berkreasiâ, kata Anang, ketua SAKI (Sanggar Anak Kampung Indonesia) yang juga salah satu keturunan ke tiga dari Kepala Kampung di jaman dahulu, sewaktu masih era Rukun Kampung (RK).
Dalam satu diskusi kelompok terfokus, beberapa warga mengatakan bahwa perubahan di kampung mereka terkait erat dengan perubahan struktur adminstratif dari Rukun Kampung (RK) menjadi  Rukun warga(RW). Sewaktu masih RK, kegiatan kampung, baik formal maupun tidak formal, melibatkan seluruh kampung, mulai dari utara sampai selatan. âkalau ada Posyandu, semua ibu-ibu akan bertemu, begitu juga dengankegiatan gotong-royong atau acara-acara lainnyaâ. Tapi setelah era RW, orang hanya akan berkegiatan dalam lingkup RW saja, bahkan bila ada yang meninggal maka yang melayatpun hanya orang yang se-RW dengan alarhum.
Warga sangat  peka terhadap perubahan yang sekiranya mempengaruhi kebersamaa mereka. Salah satu yang diresahkan dari makin banyaknya pendatang ke kampung mereka adalah bahwa para pendatang itu biasanya sulit untuk membaur dengan orang kampung. Para pendatang  biasanya hanya seperti orang yang singgah, sebab mereka lebih mementingkan pekerjaan atau profesi  mereka dibanding kegiatan kampung. Maka terjadilah jarak antara âwarga asliâ yaitu mereka yang memiliki kaitan dengan masalalu kampung dan ikatan dengan sesama warga,  dengan dengan pendatang yang merupakan âorang bebasâ yang  berpotensi mengganggu kebersamaan.
Dengan demikian, makna ruang hidup bagi warga Ledok Tukangan bukan pada ruang fisik, melainkan lebih pada ruang sosial yang memungkinkan solidaritas internal terus dibangun. Keadaan ini menunjukkan bahwa dibanding dengan kampung Jogoyudan dan RT 18 Ledok Code, kehidupan berkomunitas  Ledok tukangan lebih memiliki akar pada asal-usul.
Mengenai status tanah, sebagian warga sudah memiliki sertifikat hak milik dan hak guna, ada sebagian kecil belum memiliki status yakni mereka yang menempati tanah wedi kengser. Terkait isu adanya rencana pengambilalihan tanah negara oleh Keraton, respon masyarakat masih tenang. Hal ini bisa jadi sebagai bentuk rasa percaya diri mereka sebagai komunitas yang melekat pada kampungnya. Â Setidaknya warga memiliki modal budaya yang besar yang didasari solidaritas internal. Â Semoga mereka tetap bisa mempertahankan ungkapannya âkampungku uripku.â *** ( Penulis: Aan Subhansyah, Foto: Ade Tanesia)