“They say that the best blaze burns brightest, when circumstances are at their worst”
—Howl’s Moving Castle, a film by Hayao Miyazaki
Creative atau kreatif, sebuah kata sifat dalam Bahasa Indonesia, oleh kamus diterjemahkan sebagai berikut, “Berkaitan dengan, atau melibatkan imajinasi atau ide orisinil, terutama dalam ranah penciptaan sebuah karya bernilai seni”. Sementara creativity atau dalam Bahasa Indonesia diserap menjadi kreativitas, adalah kata kerja yang oleh kamus diterjemahkan sebagai, “Penggunaan daya imajinasi atau ide yang orisinil, terutama dalam ranah penciptaan sebuah karya yang memiliki nilai seni”. Ada beberapa kata kunci yang bisa digarisbawahi dari pengertian diatas, diantaranya, “imajinasi, ide, dan penciptaan.”
Jika ditarik pada ranah hidup keseharian masyarakat, kami memaknai kreativitas sebagai daya juang seseorang untuk keluar dari masalah pada saat keadaan genting, dengan cara-cara yang sederhana dan biasa, namun tidak mudah terpikirkan sebelumnya oleh orang lain. Kreativitas adalah pergerakkan yang dihimpun secara rutin, walau kecil, untuk kemudian berubah menjadi sebuah aksi nyata, melahirkan dampak, di tengah segala kesulitan yang mengetuk.
Kreativitas juga adalah sekelompok pemuda masa kini yang dengan segala pendekatan visualnya yang estetis dan memikat, berusaha menciptakan budaya-budaya populer baru. Pemuda-pemuda kekinian yang berkelompok unjuk gigi memamerkan keindahan fisik dan komestik, unik, cutting edge.
Pada akhirnya, makna arti kreatif dan kreativitas pasti akan berbeda, berkembang sesuai kondisi zaman, atau menyesuaikan iklim budaya, juga pola kekuasaan sebuah wilayah. Trend global yang berdampak sampai pada skala lokal, kini turut membentuk artefak dari sebuah kreativitas. Era digital yang dengan cepat mengakselerasi dan merubah pola relasi manusia pun ikut mewarnai makna kreatif dan kreativitas. Era yang kita hadapi bersama saat ini adalah lompatan yang sungguh jauh jika dibandingkan dengan lima sampai sepuluh tahun kebelakang. Dengan kemudahan yang ditawarkan teknologi dan dunia digital, semua menjadi serba cepat, serba instan, serba mungkin dan serba mudah. Pola ini pun merambah ke setiap aspek kehidupan bermasyarakat, semua terpengaruh, dari gaya hidup, pola perilaku, pola bekerja, sampai pola ekonomi.
Trend serba cepat dan mudah itu kemudian menimbulkan dampak terhadap komunitas dan masyarakat pada umumnya. Kini persaingan semakin ketat. Bagaimana kemudian masyarakat bisa melawan arus pembangunan yang serba cepat dan instan ini? Mau tidak mau, masyarakat lewat komunitas-komunitasnya perlu bergerak lebih gesit, lebih cepat, setidaknya dalam membaca potensi dan permasalahan yang mereka miliki dan hadapi. Dengan sedikit imajinasi, ide, keberanian, dan tentunya kolaborasi, kesadaran untuk bergerak berdasarkan pola pikir pemecahan masalah (problem solving mindset) harus mulai dibangun.
Riset Indie menangkap fenomena ini sebagai data untuk bahan pertimbangan dalam merancang program CreativeNet Bandung. Kota Bandung sejak mulai dibangunnya Jalan Layang Pasupati dan Jalan Tol Cipularang (pasca 2004), sudah sangat berubah. Kota Bandung yang dahulu hijau asri, lengang, dan warganya berdampingan dengan rukun, perlahan berganti wajah. Jalan Layang Pasupati dengan sangat cepat merombak wajah daerah Dago, perumahan art deco berganti Factory Outlet, bank, hotel dan restoran. Terlebih semenjak Tol Cipularang dibuka, semakin banyak warga ibukota Jakarta datang untuk rekreasi. Awalnya berkunjung mencari udara segar, mencari city lights dengan suasana pegunungan, lama kelamaan datang berinvestasi membeli tanah, membangun vila, kost-kostan, apartement, hotel, kawasan perumahan elit, restoran, dan tempat rekreasional lain. Habis tanah kami, surut mata air kami, berlimpah limbah kami. Pola relasi dan kekuasaan di Kota Bandung lalu bergeser, dengan penegakkan hukum yang lemah, para investor pemilik tanah kini berkuasa membuat apapun, memutar roda ekonomi sesukanya, tidak memutarnya kembali pada masyarakat lokal.
Melalui proses riset baseline dan assessment, juga Focus Group Discussion, CreativeNet Bandung memutuskan untuk mendampingi dan berkolaborasi bersama dua komunitas yang terletak di Kawasan Bandung Utara, masuk daerah administratif Kabupaten Bandung. Berbekalkan situasi terkini dan data di tangan, kami memutuskan untuk berkolaborasi bersama komunitas dan bereksperimen dengan metode “Design Thinking” dalam mencari solusi. “Design Thinking” akhirnya menjadi pilihan kami karena metode ini memudahkan penggunanya dalam menentukan skala prioritas, masalah mana yang hendak diselesaikan terlebih dulu, serta mendorong partisipannya untuk cepat menghasilkan sebuah purwarupa (prototype) agar bisa di evaluasi dan disempurnakan lebih cepat juga. “Design Thinking” juga dirasa cocok digunakan, menimbang waktu untuk pendampingan dan interaksi bersama komunitas dalam program tergolong singkat. Metode ini juga mendorong partisipannya untuk banyak melakukan kolaborasi dengan sesama komunitas maupun pihak luar seperti praktisi ahli, akademisi, seniman, pelaku bisnis, dan lain sebagainya.
Dua komunitas yang terpilih ialah komunitas Kelompok Tani Cipta Mandiri dan Paguyuban Ajen Sunda Seja Raharja (PASSER). Keduanya memiliki permasalahan yang serupa walau tak sama, yakni persoalan alih fungsi lahan dan perihal mengambil kembali (reclaim) lahan mereka; bukan dengan cara berdemo, kekerasan, maupun membeli kembali, tetapi dengan meningkatkan kapasitas pola pikir anggotanya menjadi problem solver yang beraksi ketimbang banyak menyimpan ide.
Cipta Mandiri, Desa Ciburial, Kabupaten Bandung.
Kelompok Tani Cipta Mandiri tidak lagi memiliki lahan bertani mereka. Tanah tempat mereka tinggal beserta lahan yang mereka garap saat ini sudah dimiliki oleh pengusaha. Berbekal kebaikan hati si pengusaha dan situasi yang mendukung, membuat mereka masih bisa tinggal bahkan mengolah tanah tersebut menjadi ladang mata pencaharian mereka. Berkali-kali ditipu dan ditinggal investor pertanian, membuat mereka mandul dan kurang produktif. Melalui proses kolaborasi, kami lalu mencoba pola pikir baru, “Bagaimana jika kita berhenti mengandalkan kucuran dana besar investor dan mulai dari kecil dulu, dengan tetap memastikan kegiatan bertani berjalan dan hasil panen petani terjual?”. Lewat proses ini kemudian lahirlah purwarupa “Pasar Kecil”, sistem berlangganan sayur organik dengan membayar di muka.
Paguyuban Ajen Sunda Seja Raharja, Kampung Sekepicung, Desa Ciburial, Kabupaten Bandung.
Tanah mukim tempat tinggal anggota PASSER semakin lama semakin sempit karena lahan mereka banyak dibeli investor dan pengembang. Sebagian besar mata pencaharian mereka pun beralih menjadi pekerja cafe. Dengan latar belakang pengalaman premanisme pemuda-pemuda Sekepicung, maka merupakan langkah strategis lah jika kemudian mereka didaulat menjadi juru parkir sekaligus keamanan cafe-cafe setempat. Bayaran yang dijanjikan pemilik cafe juga termasuk jatah miras, beberapa botol sampai beberapa kerat. PASSER kemudian terbentuk untuk memfasilitasi pemuda-pemuda yang ingin berubah menjadi lebih baik. Mereka berhenti minum dan mabuk-mabukan, membantu sesama penduduk sekitar, untuk kemudian meningkatkan daya hidup Kampung Sekepicung, melawan gerusan investor. Bersama CreativeNet Bandung, PASSER kemudian berkolaborasi membuat purwarupa model pertanian terpadu untuk meningkatkan daya tawar masyarakat Kampung Sekepicung terhadap para pemilik cafe.
Sepanjang program CreativeNet Bandung, kedua komunitas difasilitasi untuk bertemu pihak-pihak pendukung keberhasilan purwarupa dan berjejaring dengan banyak pihak. Selain itu, teman-teman komunitas juga diberi kesempatan untuk studi banding ke tempat komunitas yang sudah lebih dulu berhasil, untuk belajar langsung dengan yang berpengalaman.
Selama berproses, metode “Design Thinking” dirasa banyak membantu dalam merampingkan proses untuk mencapai tujuan prototyping solusi, menyiasati waktu pendampingan yang tidak banyak. Namun bagaimana kemudian mengemas metode tersebut agar terasa lebih “lokal” dan memudahkan teman-teman komunitas menerimanya, adalah tantangan lain yang akan terus menjadi perhatian kami.
Akhir kata, kami ingin mengutip sebuah pernyataan yang kami rasa cukup menggambarkan fenomena sosial saat ini, terkait dengan perkembangan zaman, dan bagaimana sebaiknya masyarakat bersikap untuk mengantisipasinya,
“Disruptive and innovative, collaborative consumption is shifting the lines of the economy. Digital revolution has resulted in the usage of objects being valued more than ownership.”
Di titik ini, proses kolaborasi bisa dikatakan proses yang menjadi esensial bila kita ingin melangkah maju dan berkompetisi dengan kapita maupun penguasa manapun. Lewat kolaborasi, komunitas satu bisa mempertajam komunitas lainnya, pemikiran yang satu dengan pemikiran lainnya. Lewat kolaborasi juga peribahasa “Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”, terasa betul bisa direalisasikan. Dan di zaman seperti sekarang ini, tidaklah penting siapa memiliki apa, yang lebih penting adalah bagaimana kita bersatu -padu memanfaatkan aset yang ada, seminim apapun, dengan berbagai cara. Kepemilikan tidak menjadi terlalu penting, yang penting bagaimana kita mengakali dan memanfaatkan peluang yang ada. Karena dengan kreativitas, kita akan selalu bisa melihat celah. Dari celah kita bisa menciptakan peluang. Dan selama peluang tercipta, kita dapat terus bertahan.
Salam,
Amanda Mita
mewakili tim Riset Indie, untuk CreativeNet Bandung.
*sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan cara kerja alam semesta; siapa yang paling adaptif, dia yang akan bertahan.
sumber kutipan:
http://techtrends.accenture.com/us-en/business-technology-trends-report.html
http://digital-society-forum.orange.com/en/les-forums/365-la_consommation_collaborative_une_revolution_en_marchen