Dengan tekunnya, di Balai RT 18, Ibu Srini, warga Ledok Code membuat mal-mal motif sebagai bahan dasar pembuatan lampion. Sehari-harinya, Ibu Srini membuka warung kolak dan menerima jahitan. Ia tertarik untuk ikut membuat lampion, karena tangannya juga terampil merajut. Selain Ibu Srini, ada pula Ibu Tasminah yang berjualan bubur di rumahnya di bantaran Kali Code. Beberapa wanita memang sedang sibuk mempersiapkan lampion-lampion yang sedang digagas oleh Komunitas Cemara dan warga Ledok Code. Mereka ingin membuat kampungnya yang termasuk dalam kategori Pemukiman Kumuh menjadi lebih bercahaya. Bapak Miskam sebagai penggerak Komunitas Cemara yang didampingi oleh para mahasiswa UGM menjadi koordinator dalam proses pembuatan lampion. Sementara yang bertindak dalam proses kreatif adalah Pak Supri, seorang tukang parkir.
RT 18 merupakan kampung yang berada di tengah kota di mana kampung ini dikelilingi oleh gedung-gedung bertingkat seperti hotel. Selain itu, kampung ini juga menempati tanah perairan yang seharusnya dilarang untuk ditinggali secara permanen. Kondisi RT 18 berbeda dari kondisi rukun tetangga lainnya karena kondisi kampung ini yang kumuh dan padat. Kampung ini terdiri dari rumah-rumah semi permanen yang sempit dan terkadang dihuni oleh beberapa KK sekaligus. Tak semua rumah di RT 18 memiliki fasilitas MCK, sehingga sebagian dari warga harus menggunakan KM umum yang berjumlah 4 buah dan dalam kondisi yang kotor dan memerlukan perbaikan. Kondisi kampung yang kumuh diperparah dengan banjir yang berasal dari Kali Code saat hujan deras turun. Kondisi yang demikian menyebabkan RT 18 seringkali disebut sebagai kampung kumuh dan hal itu menimbulkan keprihatinan dan perasaan inferior warga setempat. Apalagi, bantuan dari pemerintah sulit didapatkan karena sebagian besar warga RT 18 tidak memiliki sertifikat tanah sehingga mereka tidak dapat menunjukkan legalitas tanah dan bangunan yang mereka tempati.
Sebagaimana daerah lain di sepanjang Kali Code, RT 18 memiliki masalah di bidang status tanah. Beberapa pihak mengklaim bahwa tanah ini masih menjadi bagian dari Sultan Ground. Beberapa lainnya mengatakan bahwa sertifikat tanah dimiliki oleh Dinas Pengairan. Seedangkan dalam melakukan jual beli tanah, warga mengundang RT/RW setempat untuk menjadi saksi. Permasalahan ini berujung pada bantuan pemerintah yang terhambat turun. Menurut Perwal tahun 2013, pemerintah kota tak lagi menurunkan bantuan bagi wilayah yang tak memiliki status tanah yang jelas.
Bagi warga Kalicode, hal ini menjadi pelik. Code merupakan wilayah yang rawan terkena banjir. Hampir tiap tahun mereka harus menghadapi risiko jebolnya tanggul akibat banjir di musim hujan atau bahkan banjir lahar dingin. Selain itu, masih ada beberapa warga yang hidup di bawah rata-rata dan tinggal di rumah yang tidak layak huni. Masalah ini sebenarnya bisa diselesaikan oleh pemerintah kota andaikata ada sertifikat tanah yang jelas. Pun begitu dengan balai RT berukuran 3×5 yang sudah rusak disana-sini. Tak hanya itu, nihilnya pembangunan menjadi salah satu faktor minimnya kebersihan dan penataan ruang di wilayah ini.
Kondisi yang mengenaskan tidak menyurutkan warga RT 18 untuk tetap bermimpi tentang sebuah kampung yang asri. Mereka ingin keluar dari stigma ‘kampung kumuh’ yang selama ini melekat pada kampungnya. Warga ingin menunjukkan keberadaan dan kemampuan warganya di tengah hingar bingar kota dan gedung-gedung bertingkat yang mengapit kampung kami melalui sebuah ide membuat Kampung Bercahaya dengan Lampion. ***